Beban yang Tak Biasa di Pundak Kecilnya




Saya terharu sekaligus merasa tertampar. Bagaimana mungkin di usia seperti ini masih sering berkeluh kesah, di saat seharusnya banyak bersyukur. Apalagi dari kisah ini seharusnya banyak belajar tentang hidup. Ini guru saya, guru kehidupan yang mengajarkan tentang perjuangan, keikhlasan dan semangat hidup yang tidak pernah padam dari sosok bernama Adam. 

Namanya Adam (nama samaran), anak berumur 10 tahun yang sejak kecil hidup bersama kedua orang tuanya yang merupakan tunanetra. Bukan hanya bapaknya saja, tapi juga ibunya seorang tunanetra. Adam sejak kecil menjalani kehidupan yang tak biasa. Beda dari anak-anak sepantarannya.

Seharusnya, di usianya ia sedang asik-asiknya bermain. Berlari-larian mengejar bola atau bermanja-manja dengan orang tuanya. Pergi ke taman atau ke tempat wisata menikmati indahnya pemandangan bersama orang tua tercinta. Ya, seandainya begitu...

Tapi kenyataannya tidak demikian. Di masa kecilnya, Adam justru sudah membawa beban yang tak biasa. Bahkan orang dewasapun belum tentu sanggup memikul beban yang Adam bawa. Adam harus bekerja dari pagi higga malam, ah tidak bekerja, lebih tepatnya menemani sang ibu atau sang ayah berjualan kerupuk kulit keliling. Berjualan menyusuri jalan dengan mendorong gerobak kecil berisikan bungkusan-bungkusan kerupuk, sambil menuntun sang ibu menapaki jalan. Tubuhnya memang kecil, tapi kerasnya hidup membuat Adam harus bersikap selayaknya orang dewasa.

Setahun lalu, saya bekerja di sebuah kantor penerjemahan. Di pinggir jalan persis, membuat suara-suara di luar nyaris terdengar jelas. Maka setiap tiga hari sekali alunan suara "Kerupuk.. kerupuk.. kerupuk.." itu terdengar, saya langsung bergegas dan lari untuk segera ke luar. Khawatir langkah mereka lebih dulu dari pada langkah saya. Khawatir tidak jadi membeli kerupuk karena sudah kehilangan jejak mereka. 

Pernah satu waktu mereka lewat depan ruko, naasnya ternyata saya justru lupa bawa uang. Hanya bawa dompet kosong. Ah, kesal sekali waktu itu. Ingin menangis karena tidak bisa membeli kerupuk mereka.

Dan sejak itu saya belajar banyak dari seorang anak kecil bernama Adam..

Adam kini menginjak kelas 6 SD. Dia bisa belajar karena ada bantuan dari pihak sekolah. Tapi sekarang Adam bingung, harus melanjutkan sekolah kemana?

Belum lagi di masa pandemi ini, jualan kerupuk Adam semakin menurun karena orang-orang yang lalu lalang di jalan semakin sedikit. Pelanggan-pelanggannya mungkin lebih banyak berdiam di rumah, daripada menghabiskan waktu di jalan. Tapi tidak bagi Adam, puluhan kilometer ia tapaki dengan kaki kecilnya dengan harapan kerupuk-kerupuk itu akan laris sehingga ada biaya untuk makan dan kebutuhan keluarganya sehari-hari. 

Semenjak pandemi dan Adam harus belajar di rumah menggunakan smartphone, guru-gurunya mengeluhkan bahwa Adam jarang aktif ikut kelas. Padahal materi diberikan melalui Whats App, tapi Adam jarang sekali muncul. 

Lockdown Adam, tidak sama dengan anak-anak lainnya. Yang mungkin mereka bisa tertawa-tawa melihat tayangan kartun atau video di saluran Youtube. Tapi Adam, untuk belajarpun kesulitan akses internet. Justru waktunya habis di jalan untuk menjajakan dagangannya, berharap orang-orang membeli kerupuknya. 

Cukup dengan Rp 8.000,- siapapun bisa membeli kerupuk kulit yang Adam dan Ibunya dagangkan. Tidak mahal. Itupun mungkin dia hanya mengambil 2.000an saja, karena kerupuk itu boleh mengambil dari pemasoknya. Terakhir gurunya menceritakan beberapa hari lalu, Adam masih berjualan bersama sang bapak di jalan. Entah berapa puluh kilometer yang sudah ia susuri sepanjang hari itu. 

Ketika dipanggil oleh gurunya untuk datang ke sekolah, Adam langsung putar haluan dari tempatnya berjualan. Ia tuntun sang bapak untuk datang ke sekolahnya. Rupanya guru-guru mempertanyakan kenapa Adam sulit aktif mengikuti kelas online. Dan disitulah mereka mengetahuinya bahwa sang bapak belum sempat membelikan paket internet. Lebih tepatnya belum sanggup. Mungkin esok atau esoknya...

Melihat Adam yang terlihat lesu, mungkin karena sudah terlalu lelah berjalan kaki membuat para guru memborong semua kerupuknya. Ada yang membeli 2,3,4 bungkus untuk dibawa pulang. Adam tersenyum senang, akhirnya kerupuknya laku dan diborong justru dari guru-gurunya. Adam sumringah, tapi mata para guru susah payah membendung air mata yang kapan saja siap tumpah. 

Entah siapa yang sanggup tak berkaca-kaca melihatnya. Di tengah teriknya matahari, di tengah kondisi daruratnya pandemi, masih ada anak-anak seperti Adam yang nasibnya cukup mengiris hati. Belum lagi, sejak kecil Adam lah yang mengurus keperluan dan makan bapak ibunya. Ia yang masak, ia yang menyuapi dan entah kemurahan hati apa lagi yang ia lakukan. 

Ramai guru mengatakan bahwa Adam anak yang sangat penurut, baik dan sopan kepada siapapun. Sayangnya sejak dulu, ia jarang masuk kelas untuk belajar karena beberapa hari harus berjualan menemani dan menuntun ibu atau ayahnya demi mencari rezeki.

Pernah sesekali, saya lihat Adam berjualan masih lengkap memakai baju sekolahnya. Dia duduk di pinggir jalan menemani sang ibu. Alunan suara "Kerupuk..kerupuk..kerupuk.."terus saja mengalun keras di tengah bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang. 

Adam mengajarkan banyak hal bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang tak berujung penuh duri, tapi harus tegar dijalani. Sekecil Adam sudah memikul beban layaknya orang dewasa. Masa kecilnya tak dihabiskan dengan permainan dan canda tawa di lapangan, tapi habis diperjalanan untuk menjajakan dagangan sekaligus mendampingi orang tuanya. 

Panasnya matahari, tidak membuat semangat Adam surut. Tidak kenal lelah berapa puluhan atau mungkin ratusan yang telah ia tempuh, tidak membuatnya mudah berkeluh kesah. Tapi Adam masih anak-anak, dia berhak mendapatkan perhatian dan kebahagiaan selayaknya anak lainnya. 

Sekarang Ramadhan tinggal menghitung hari, ada niat dalam hati untuk membantu Adam dan keluarganya untuk memberikan bingkisan atau sembako agar kebutuhan pangannya bisa tercukupi selama beberapa hari ke depan. Setidaknya selama Ramadhan. Maka semalaman saya berpikir dengan hati gelisah, cara seperti apa yang harus saya lakukan. Maka saya putuskan menceritakan ini dalam blog.

Sungguh, hati ingin sekali memberi Adam dan keluarganya sesuatu yang lebih, tapi itu tidak bisa saya lakukan seorang diri...

Saya butuh kamu untuk sama-sama berikan bingkisan cinta dan kebahagiaan untuk Adam dan kedua orang tuanya yang tunanetra. Mungkin matanya tidak bisa melihat dunia, tapi hatinya pasti bisa melihat kebaikan dan ketulusan orang baik seperti kamu semua..

Ada waktu satu minggu untuk sama-sama kita kumpulkan bantuan demi lumbung pangan Adam dan keluarganya selama Ramadhan.

Sungguh, saya butuh kamu. Saya tidak bisa sendiri menjalani misi ini..

Kamu bisa membantu dengan menyalurkan bantuan melalui norek dibawah ini:

7139186901 
Mandiri Syariah a.n Rifatunnisa
Kode bank ( 451 )

Konfirmasi silahkan WA ke nomer ini : 0896 0285 3468 (a.n diri saya)

Semua donasi yang masuk 1000% akan saya salurkan untuk membeli kebutuhan sembako buat Adam dan keluarganya. Sungguh, tidak akan pernah secuil dan sepeserpun saya ambil, karena Allah adalah Pemantau Terbaik atas semua tindakan hambaNya.

Seminggu waktu kita Sahabat  untuk mewujudkan misi ini. Ya, sebelum Ramadhan tiba.
Semoga orang baik sepertimu bisa menggandeng kebaikan ini.
Jika tidak bisa, mohon bantu sebarkan tulisan ini...

Sungguh tidak rela seorang anak seperti Adam harus berjuang keras sendirian di masa pandemi ini. Jangan biarkan perutnya kelaparan wahai sahabatku atau bagaimana nasib mereka nanti.

Sekian,
Karena hati sudah sulit diajak kompromi. 

Semoga Allah meridhoi langkah kita semua. Aaamiin.


Bekasi, 16 April 2020


Catatan: Jika ingin foto Adam dan keluarganya, silahkan kontak WA diatas. Adapun kisah ini akan dilanjut setelah pemberian bantuan kepada Adam telah dilakukan. Bismillah ya, ada waktu seminggu buat kita sukseskan misi ini. 

0 comments

Promo Gajian Januari 2019